www.posbenua.id – Malang menjadi sorotan publik setelah kemunculan video yang menunjukkan logo ‘halal’ berfungsi sebagai sindiran terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Fatwa ini menetapkan bahwa penggunaan sound horeg dengan volume berlebihan dianggap haram. Fenomena ini memicu berbagai reaksi di kalangan masyarakat yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kontroversi ini.
Dalam video yang viral tersebut, terlihat sekelompok anak muda menggunakan kaus putih hamparan di depan layar LED dengan tulisan ‘halal 1000%’. Pembuat video ini berupaya menyampaikan pesan yang terkesan meremehkan fatwa yang telah dikeluarkan MUI. Hal ini menunjukkan bahwa ada sejumlah pemuda yang tidak sepaham dengan kebijakan ulama terkait penggunaan sound horeg.
Video yang diunggah di platform sosial media TikTok ini diambil dari acara H PRO Audio yang digelar di karnaval Tambakwatu, Purwodadi, Jawa Timur. Acara ini dilaporkan berlangsung pada 12 Juli 2025 dan dihadiri oleh banyak orang. Kreasi semacam ini menunjukkan kekreatifan individu dalam merespons isu sosial di sekitarnya.
Reaksi Beragam Terhadap Fatwa MUI Terkait Sound Horeg
Respon dari publik bervariasi, ada yang mendukung fatwa tersebut namun ada pula yang menentang. Sebagian netizen berpendapat bahwa video ini menunjukkan sikap yang menantang otoritas dan tidak memahami tujuan baik di balik fatwa tersebut. Mereka merasa penting untuk menjaga kesehatan dan ketertiban umum yang dapat terganggu akibat kebisingan yang berlebihan.
Ada juga pengguna media sosial yang menggambarkan sound horeg sebagai aktivitas yang mirip dengan klub malam yang seharusnya tidak ada di tempat umum. Mereka beranggapan bahwa suara keras yang dihasilkan lebih mengganggu ketertiban ketimbang memberikan hiburan. Pandangan ini menjadi salah satu perdebatan hangat yang lebih luas di tengah masyarakat.
Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI menunjukkan kepedulian mereka terhadap potensi kemaksiatan yang muncul dari aktivitas yang tidak terkontrol. Kukuhnya asas dan keberatan yang diungkapkan oleh para ulama menjadi tolak ukur dalam menanggapi berbagai perilaku yang dapat merugikan masyarakat.
Poin Penting dalam Fatwa MUI
Fatwa tersebut berisi enam poin penting yang menjelaskan sikap MUI terhadap penggunaan sound horeg. Selain menanggapi kebisingan, MUI juga memahami dampak sosial yang dapat dihasilkan dari perkembangan teknologi voice over atau audio system. MUI mendorong penggunaan teknologi untuk kegiatan positif, asalkan sesuai dengan prinsip syariat.
Setiap individu diharapkan memiliki hak berekspresi, namun hal ini tidak boleh melanggar hak asasi orang lain. Fatwa ini menggarisbawahi pentingnya menjaga privasi dan ketertiban masyarakat. Mengusung riset dari berbagai lembaga, MUI membeberkan berbagai bahaya dari suara keras yang berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat.
Poin keempat dari fatwa menjelaskan bahwa penggunaan sound horeg harus steril dari perilaku maksiat. Artinya, meskipun untuk kegiatan positif seperti pengajian atau acara pernikahan, apa yang dilakukan harus tetap mengedepankan nilai-nilai agama dan etika sosial. Keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kepatuhan terhadap prinsip syariat sangat penting.
Penggunaan Sound Horeg di Masyarakat: Antara Hiburan dan Kontroversi
Penting bagi masyarakat untuk memahami perdebatan tentang sound horeg, yang sering kali dianggap sebagai hiburan. Namun, harus disadari bahwa hiburan tidak selamanya memberikan dampak positif jika tidak diimbangi dengan kesadaran sosial. Kebisingan yang tinggi sering kali menjadi sumber ketidaknyamanan di lingkungan sekitar, yang dapat menimbulkan pro dan kontra.
Aktivitas yang bersifat kebudayaan dapat membawa dampak yang luas, baik positif maupun negatif. Contohnya, sound horeg tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga seringkali menimbulkan kekhawatiran di kalangan warga. Hal ini mendorong berbagai organisasi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan pandangan mereka dalam banyak hal.
Sejalan dengan fatwa MUI, masyarakat juga perlu terlibat dalam mendiskusikan solusi untuk meminimalisir dampak buruk yang ditimbulkan. Mengedukasi pengguna tentang batasan dan dampak dari volume suara bisa menjadi langkah yang konstruktif untuk menciptakan lingkungan yang lebih harmonis.