Sabtu, 17 Mei 2025 – 15:00 WIB
Jakarta – Dalam dunia media sosial yang kian mendominasi, istilah “Flexing” menjadi salah satu istilah gaul yang paling sering digunakan. Dari TikTok hingga Instagram, kita dapat melihat berbagai tayangan yang berhubungan dengan flexing, baik dalam konteks positif maupun negatif. Tetapi, apa sebenarnya flexing itu? Mengapa istilah ini bisa menjadi viral, dan bagaimana pandangan masyarakat terhadapnya di tengah maraknya konten pamer gaya hidup?
Artikel ini akan membahas secara komprehensif fenomena flexing di jagat digital—mulai dari definisi, bagaimana tren ini menjadi viral, hingga pengaruhnya terhadap kehidupan sosial dan mental generasi muda.
1. Apa Itu “Flexing”?
Secara harfiah, kata flexing berasal dari bahasa Inggris “flex” yang berarti melenturkan otot, sering digunakan untuk mengekspresikan kekuatan. Dalam konteks media sosial, flexing berarti pamer sesuatu dengan tujuan menonjolkan keunggulan, seperti harta, barang mewah, pencapaian pribadi, atau gaya hidup.
Contoh content flexing di media sosial antara lain:
- Pamer mobil mahal atau jam tangan premium.
- Menunjukkan saldo rekening atau slip gaji.
- Membagikan momen liburan mewah sambil menyindir mereka yang belum mampu.
- Makan di restoran mahal dengan caption sombong.
2. Flexing di Era Media Sosial
Seiring dengan berkembangnya konten “rich life”, tren flexing mulai mendapatkan perhatian yang signifikan. Banyak konten yang disajikan dengan iringan musik ceria, editing istimewa, serta caption yang menginspirasi. Di TikTok, kita kerap menemui video yang menunjukkan kehidupan sehari-hari seseorang yang berstatus tinggi, seperti “day in my life as a CEO”.
Fenomena ini telah melahirkan istilah, antara lain:
- Sultan vibes: menggambarkan sosok yang terlihat kaya dan glamor.
- Crazy Rich: istilah yang merujuk pada gaya hidup mewah yang terinspirasi dari film.
- Flex culture: budaya pamer untuk membangun identitas diri.
3. Positif vs Negatif: Kapan Flexing Menjadi Toksik?
Walaupun banyak yang memandang flexing sebagai hal yang negatif, tidak semua bentuknya buruk. Terkadang, seseorang hanya ingin berbagi kebahagiaan atau menginspirasi orang lain. Namun, masalah sering muncul ketika:
- Pamer dilakukan untuk menjatuhkan orang lain.
- Membuat orang lain merasa kurang berharga.
- Menciptakan standar palsu tentang kesuksesan.
- Melakukan pamer dengan cara yang tidak jujur, seperti utang demi gengsi.
Banyak orang berpendapat bahwa jika konten diciptakan untuk membandingkan atau merendahkan orang lain secara halus, maka itu termasuk dalam kategori flexing toksik.
4. Dampak Flexing terhadap Kesehatan Mental Generasi Muda
Tren ini dapat memberikan dampak yang tidak baik pada remaja dan pengguna media sosial yang masih mencari identitas diri. Beberapa akibat negatifnya adalah:
- FOMO (Fear of Missing Out): ketakutan tertinggal karena tidak memiliki gaya hidup yang terlihat di media sosial.
- Rasa percaya diri yang rendah: merasa hidupnya tidak cukup menarik.
- Konsumtif: terpaksa mengikuti tren agar terlihat menonjol.
- Membandingkan kehidupan dengan orang lain tanpa menyadari kondisi nyata.
Psikolog mendorong pengguna media sosial untuk lebih kritis terhadapan konten yang mengedepankan pamer dan tidak mudah percaya dengan dunia maya.
5. Cara Bijak Menghadapi Budaya Flexing
Jika kamu merasa tertekan dengan tren flexing, berikut beberapa langkah yang bisa diambil:
- Kurangi waktu berselancar di media sosial jika merasa stres.
- Ingat bahwa media sosial tidak selalu merefleksikan kenyataan.
- Ikuti akun yang membagikan konten yang edukatif atau inspiratif.
- Fokus pada pengembangan diri daripada perbandingan.
Bergabunglah dalam gerakan “real life movement” yang menampilkan keseharian tanpa pencitraan yang berlebihan.
Etika dalam Flexing
Flexing memang menjadi bagian yang tidak terhindarkan di media sosial. Meski ini bisa menjadi cara untuk merayakan pencapaian pribadi, jika dilakukan secara berlebihan, hal ini bisa menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan mental masyarakat, serta menciptakan ketidakadilan dalam pandangan sosial.
Daripada hanya sekadar pamer, mari kita ubah cara berbagi cerita menjadi lebih berarti. Bukan soal seberapa banyak harta yang kita miliki, tetapi seberapa tulus kita dapat memberikan inspirasi kepada orang lain.