Kamis, 15 Mei 2025 – 11:51 WIB
Jakarta – Di tengah kehidupan digital saat ini, istilah “healing” kian populer di kalangan anak muda Indonesia. Berasal dari bahasa Inggris yang berarti penyembuhan, kata ini kini sering kali dimaknai dalam konteks yang lebih luas. Di media sosial, terutama platform seperti TikTok dan Instagram, “healing” telah bergeser dari pemulihan emosional menjadi ajang untuk liburan, staycation, atau sekadar hangout di kafe-kafe yang Instagramable.
Berbagai konten di media sosial sering kali mengajak para pengguna untuk “healing” dengan kalimat-kalimat menarik, seperti “Lelah kerja? Healing dulu ke Bali.” atau “Masalah nggak selesai? Healing dulu ke Puncak.” Sementara itu, dalam perspektif psikologi, proses healing yang sesungguhnya memerlukan waktu, usaha, dan terkadang bantuan profesional — bukan sekadar pelarian dari rutinitas sehari-hari.
Definisi dan Makna Asli “Healing”
Dalam konteks psikologi, healing adalah proses untuk menyembuhkan diri, baik secara fisik maupun emosional. Proses ini melibatkan berbagai pendekatan, seperti terapi, meditasi, konseling, dan introspeksi diri. Healing adalah usaha yang tidak selalu terlihat dari luar, karena perbaikannya terjadi lebih kepada transformasi mental dan emosional yang berlangsung secara internal dan bertahap.
Namun, di Indonesia, istilah ini sering disalahpahami, menjadi justifikasi untuk melakukan pelesiran, belanja impulsif, atau self reward yang berlebihan. Banyak individu yang merasa “healing-nya gagal” setelah melakukan perjalanan mahal, karena masalah-masalah dalam hidupnya tetap ada dan bahkan terbawa pulang.
Dampak Budaya “Fake Healing” di Media Sosial
- Standar Kebahagiaan yang Salah
Media sosial membentuk pandangan bahwa seseorang harus berlibur untuk dianggap sedang melakukan healing. Padahal, healing tidak harus berhubungan dengan biaya yang mahal atau kemewahan. Ini sering kali menuntut individu untuk terkesan bahagia di depan publik, meski mereka sebenarnya sedang melalui masa sulit.
- Tekanan Finansial demi “Healing”
Banyak anak muda yang terpaksa berutang demi mendapatkan pengalaman “healing” yang terlihat estetik di media sosial. Ini berpotensi menciptakan masalah baru, bukan menyelesaikan masalah lama.
- Penghindaran Introspeksi Diri
Healing sejati menuntut seseorang untuk berani menghadapi dan mengakui luka batin mereka. Dengan mengaitkan healing dengan liburan, individu justru melarikan diri dari proses yang seharusnya mereka jalani.
- Normalisasi Konsumtif yang Tidak Sehat
Tren “healing” banyak dimanfaatkan oleh brand-brand untuk mendorong konsumsi, mengalihkan perhatian dari refleksi diri yang penting untuk kesehatan mental.
- Menutupi Kesehatan Mental yang Butuh Perhatian
Sebagian orang memakai istilah “healing” untuk menutupi kondisi mental yang memerlukan penanganan lebih serius, seperti depresi atau kecemasan. Bukannya mencari bantuan dari profesional, mereka lebih memilih untuk bersenang-senang.
Kapan Healing Benar-Benar Dibutuhkan?
Healing diperlukan ketika seseorang merasa tidak dapat menghadapi kehidupan secara optimal karena beban emosional yang berat atau kelelahan mental. Proses healing bisa dilakukan melalui berbagai cara, di antaranya:
- Menulis jurnal harian
- Berkonsultasi dengan psikolog
- Beristirahat dari media sosial
- Meditasi atau aktivitas spiritual
- Membangun rutinitas yang sehat
- Jika liburan bermanfaat, itu hanyalah bagian dari proses — bukan inti dari healing itu sendiri.
Saatnya Kembali ke Makna Sejati Healing
Tren “healing” di media sosial memang menarik perhatian dan sering kali terlihat menyenangkan. Tetapi penting untuk diingat bahwa healing sejati tidak terletak pada tujuan fisik atau lokasi perjalanan, melainkan pada bagaimana kita berupaya menyembuhkan luka batin yang ada di dalam diri. Healing yang optimal yaitu ketika kita berani menghadapi kenyataan diri dan mencari bantuan yang tepat.