Jumat, 16 Mei 2025 – 00:01 WIB
Momen wisuda baru-baru ini menjadi sorotan banyak kalangan, terutama terkait kebijakan yang diusulkan oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi. Ia menegaskan pelarangan wisuda di sekolah, sebuah langkah yang menuai pro dan kontra di masyarakat.
Pelarangan ini muncul karena banyak orangtua yang merasa terbebani dengan biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan acara wisuda. Meski ada larangan, beberapa sekolah tetap menyelenggarakan acara tersebut. Contohnya, sebuah SMA di Purwokerto baru-baru ini menggelar wisuda yang menuai perhatian publik.
Acara ini menjadi viral setelah beredar video yang memperlihatkan suasana wisuda siswa SMK Citra Bangsa Mandiri. Video tersebut menggambarkan momen wisuda yang serupa dengan acara di perguruan tinggi, mulai dari prosesi pengalungan toga hingga pembacaan nama siswa.
Hal menarik dalam video tersebut adalah penggunaan toga oleh siswa dan prosesi pindah kuncir. Dalam acara itu, terlihat juga guru-guru mengenakan kalung kehormatan, yang biasa digunakan oleh rektor atau guru besar saat wisuda perguruan tinggi.
Kalung kehormatan ini, yang dikenal sebagai kalung gordon, bukan sekadar aksesori biasa. Biasanya digunakan dalam upacara resmi di dunia akademik, kalung ini melambangkan otoritas dan kedudukan tertinggi dalam konteks pendidikan tinggi.
Secara hukum tidak ada aturan yang melarang penggunaan kalung gordon ini, tetapi secara etika akademik, penggunaannya seharusnya diwujudkan dalam konteks formal yang lebih tinggi. Namun, ini tidak melarang individu untuk mengenakannya, terutama di acara-acara yang tidak resmi.
Banyak pakar pendidikan, seperti Darmawaningtyas dari Perguruan Taman Siswa, menyayangkan adanya peristiwa perpisahan yang diselenggarakan dengan format wisuda seolah-olah di perguruan tinggi. Penggunaan atribut akademik seperti kalung gordon di lingkungan SMK jelas menimbulkan banyak pertanyaan.
Sebagai respons terhadap video tersebut, reaksi warganet pun beragam. Banyak komentar yang mencerminkan pandangan skeptis bahkan lucu mengenai penyelenggaraan acara tersebut. Salah satu komentar menyebutkan bahwa kualitas pendidikan di tempat berkaitan dapat merosot jika hanya memikirkan penampilan acara tanpa memperhatikan esensinya.
Beberapa pengguna media sosial pun mengangkat isu bahwa acara kelulusan seharusnya lebih sederhana. Mereka mengingatkan bahwa dulu, saat mereka lulus, perpisahan tidak semewah itu dan tidak memerlukan atribut seperti toga.
Kategori lain dari komentar menekankan bahwa acara kelulusan kini menjadi lebih rumit dan menghabiskan biaya yang tidak perlu. Banyak yang merasa bahwa pihak sekolah lebih peduli pada penampilan acara daripada kualitas pendidikan yang sebenarnya.
Dari semua reaksi ini, terlihat jelas bahwa masyarakat masih terbagi dalam pandangannya mengenai pelaksanaan wisuda di level pendidikan menengah. Mungkin, sudah saatnya untuk mengevaluasi kembali makna dari kebijakan tersebut dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan.