www.posbenua.id – Sektor tekstil di Indonesia kini menghadapi tantangan besar saat berusaha bangkit dari dampak serius pandemi. Meskipun ada inisiatif dari pemerintah dan pelaku bisnis untuk meningkatkan daya saing, munculnya tekanan dari kelompok tertentu membuat situasi semakin kompleks.
Dalam konteks ini, regulasi yang dianggap mendukung industri justru sering kali menjadi bumerang. Tidak jarang, kepentingan kelompok-kelompok ini bercampur aduk dengan agenda pribadi mereka, melawan kepentingan industri secara keseluruhan.
Sebagai contoh nyata, desakan yang datang dari organisasi tertentu sering kali disamarkan di balik narasi yang mengklaim mewakili industri nasional. Pada akhirnya, hal ini menambah beban bagi para pelaku usaha yang sudah tertekan oleh situasi global.
Mengurai Permasalahan Regulasi di Sektor Tekstil Nasional
Dalam beberapa minggu terakhir, fenomena yang disebut “premanisme regulasi” mencuri perhatian. Praktik ini melibatkan upaya terencana dari kelompok tertentu untuk memaksakan kebijakan yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan umum.
Sebagai contoh, desakan untuk memberlakukan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang polyester dari luar negeri menimbulkan kontroversi. Langkah ini, meskipun didasarkan pada alasan perlindungan industri, berpotensi merugikan sektor hulu yang sangat bergantung pada material tersebut.
Pemerintah mengambil langkah bijak dengan menolak usulan tersebut. Langkah ini menunjukkan bahwa analisis menyeluruh terhadap dampak kebijakan sangat penting sebelum mengambil keputusan yang dapat memengaruhi ribuan tenaga kerja.
Keterlibatan Organisasi dalam Ikatan Regulasi
Fernando Emas, seorang pengamat industri, menyoroti hubungan antara yayasan yang mengklaim mewakili konsumen dengan asosiasi produsen tertentu. Ini merupakan sinyal bahwa sering kali ada kepentingan tersembunyi di balik desakan regulasi.
Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) misalnya, mendorong pemberlakuan SNI wajib untuk semua produk tekstil. Namun, perlu dipastikan bahwa mereka benar-benar mewakili kepentingan konsumen atau justru kepentingan tertentu dari industri.
Fernando menekankan pentingnya investigasi terhadap hubungan antara organisasi tersebut dan asosiasi lain. Hal ini diperlukan untuk mencegah adanya tekanan yang tidak sehat terhadap proses pembuatan kebijakan.
Perluasan SNI Wajib: Pro dan Kontra
Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) saat ini hanya berlaku untuk kategori pakaian bayi, yang mana diterapkan demi keselamatan. Langkah ini dianggap tepat karena seringkali produk pakaian bayi mengandung bahan berbahaya yang dapat membahayakan kesehatan anak. Namun, untuk memperluasnya ke seluruh produk, perlu kajian mendalam.
Menurut data terbaru, lebih dari 900.000 industri pakaian jadi mikro dan sekitar 5.800 industri menengah besar memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian. Jika semua diwajibkan untuk mendapatkan SNI, ini bisa menghancurkan usaha kecil yang tak berdaya.
Pemerintah perlu berpikir tiga kali sebelum menerapkan regulasi baru yang bisa membebani pelaku UMKM. Pertanyaannya, apakah negara telah siap untuk mengatasi kemungkinan kriminalisasi terhadap produsen kecil yang hanya ingin berusaha di bidang ini?
Permintaan Evaluasi Terhadap Organisasi yang Bermasalah
Saran untuk melakukan evaluasi terhadap organisasi yang mengganggu kestabilan dalam industri tekstil muncul dari sejumlah tokoh terkait. Penilaian ini diperlukan agar proses penyusunan kebijakan tetap berjalan lancar dan tidak terpengaruh oleh kepentingan sempit beberapa pihak.
Fernando menekankan bahwa tindakan evaluasi atau bahkan pencabutan izin organisasi bermasalah harus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk melindungi program pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan memperkuat industri domestik.
Presiden Prabowo Subianto berkomitmen untuk menciptakan lapangan kerja baru dan memperluas investasi di sektor strategis. Tidak seharusnya kepentingan segelintir orang yang menghalangi kemajuan besar yang bisa diraih oleh sektor industri.