Rabu, 21 Mei 2025 – 01:21 WIB
Kendari – Proses pemilihan Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) untuk periode 2025–2029 tengah menjadi sorotan dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis kampus, dan organisasi mahasiswa. Mereka menilai bahwa pemilihan ini mengandung banyak masalah serius, seperti penyalahgunaan kekuasaan, cacat prosedural, dan tidak mencerminkan semangat demokrasi akademik yang seharusnya diterapkan di institusi pendidikan.
Saat ini, ada tiga kandidat yang telah ditetapkan dalam pemilihan rektor, yaitu Prof. Armid, S.Si., M.Si., M.Sc., D.Sc., Prof. Dr. Ruslin, S.Pd., M.Si., dan Prof. Dr. Ir. Takdir Saili, M.Si. Menurut jadwal resmi, keputusan akhir mengenai pemilihan ini akan diambil pada 2 Juni 2025 oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) bersama Senat UHO.
Namun, banyak pihak merasa bahwa proses menuju penetapan calon rektor ini penuh dengan masalah. Salah satu akademisi, Dr. Muhammad Zein Abdullah, S.IP., M.Si., mengungkapkan bahwa pemilihan anggota Senat UHO adalah awal dari ketidakadilan. Ia mengkritisi intervensi dari pihak kampus yang ia sebut telah merekayasa proses pemilihan dengan cara yang tidak adil.
“Proses pemilihan ini tidak mencerminkan semangat demokrasi yang seharusnya mengedepankan transparansi dan partisipasi. Saya sangat kecewa dengan bagaimana proses ini telah dikondisikan oleh oknum-oknum tertentu di lingkungan universitas,” ungkap Zein.
Lebih lanjut, Zein mencatat bahwa ada banyak dosen yang namanya terdaftar sebagai anggota senat tanpa sepengetahuan dan persetujuan mereka. Ini semua dianggapnya sebagai tindakan manipulatif yang melanggar prinsip transparansi dan keadilan.
Kritik yang sama juga disampaikan oleh La Ode Muhammad Elwan, seorang dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo. Menurutnya, isu ini bukan sekadar tentang siapa yang akan menjabat, tetapi lebih kepada kerusakan yang terjadi dalam proses demokrasi di institusi pendidikan tersebut.
“Pernyataan dari salah satu calon rektor mengungkap adanya dugaan pelanggaran administratif, manipulasi regulasi, serta intervensi yang sistematis. Ini sangat merugikan integritas proses pemilihan,” tambahnya.
Salah satu pelanggaran yang paling jelas adalah keterlambatan dalam proses penjaringan calon rektor yang baru dimulai pada 10 April 2025. Pada kenyataannya, menurut Pasal 6 Permenristekdikti No. 19 Tahun 2017, proses penjaringan seharusnya dilakukan maksimal lima bulan sebelum masa jabatan rektor habis. Dengan masa jabatan rektor yang berakhir pada 2 Juli 2025, jadwal yang dibuat dianggap tidak sah.
Sekretaris Umum DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sulawesi Tenggara, Firdaus SE., juga mengkritik kurangnya keterlibatan mahasiswa dalam proses yang dianggap terjadi secara tertutup. Ia menilai intervensi dari pejabat kampus hanya menguntungkan calon tertentu di dalam pemilihan ini.
“Proses pemilihan rektor dipenuhi oleh intervensi dari pimpinan yang seharusnya bersikap netral. Jika situasi ini dibiarkan, akan banyak pihak yang dirugikan,” tegas Firdaus.
Ia pun berharap agar Mendiktisaintek dapat turun tangan untuk memastikan bahwa proses pemilihan berjalan objektif dan transparan, demi masa depan kampus yang merupakan salah satu yang terbesar di Sulawesi Tenggara.
“Kampus ini memiliki reputasi tinggi, sehingga Kementerian Pendidikan Tinggi memiliki tanggung jawab besar dalam menentukan calon rektor yang terbaik,” tutup Firdaus.